BAB
I
PENDAHULUAN
A. LATAR
BELAKANG
Pendidikan memiliki peranan yang sangat vital serta merupakan
suatu wadah yang sangat tepat di dalam upaya peningkatan kualitas sumber daya
manusia serta harus menjadi prioritas secara optimal dan berkesinambungan, agar
kualitas peserta didik pada jenjang pendidikan. Jadi,
sesungguhnya pendidikan adalah usaha bangsa ini membawa manusia Indonesia
keluar dari kebodohan, dengan membuka tabir aktual-transenden dari sifat alami
manusia. Di era globalisasi yang di tandai dengan kemajuan dunia ilmu
informasi dan teknologi, memberikan banyak perubahan dan tekanan dalam segala
bidang. Dunia pendidikan yang secara filosofis di pandang sebagai alat atau
wadah untuk mencerdaskan dan membentuk watak manusia agar lebih baik, sekarang
sudah mulai bergeser atau disorientasi.
Pendidikan bagi kehidupan manusia merupakan kebutuhan primer
atau mutlak yang harus dipenuhi sepanjang hayat. Tanpa pendidikan sama sekali
mustahil suatu kelompok manusia dapat hidup berkembang dengan cita-cita untuk maju,
sejahtera, dan bahagia menurut konsep pandangan hidupnya. Dalam pengertian
sederhana dan umum makna pendidikan adalah usaha sadar manusia untuk
menumbuhkan dan mengembangkan potensi-potensi pembawaan baik jasmani maupun
rohani sesuai dengan nilai-nilai yang ada di dalam masyarakat dan agama.
Perlu
kita ketahui bahwa fungsi pendidikan Nasional adalah untuk mengembangkan
kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembanganya potensi
peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, berakhlakul karimah, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan
menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Ki Hajar
Dewantara menyatakan bahwa pendidikan adalah daya upaya untuk memajukan
bertumbuhnya budi pekerti, pikiran dan tubuh. Pendidikan budi
karakter merupakan bagian yang sangat penting dari pendidikan kita.
B.
Tujuan
1.
Bagi Penulis
Penulisan
ini disusun untuk memenuhi tugas yang diberikan dosen dalam mata kuliah Bahasa
Indonesia. Selain itu, bagi kami sendiei juga diharapkan bisa digunakan untuk
menambah pengetahuan dan wawasan yang lebih sebagai mahasiswa, baik dalam
lingkup Universitas maupun lingkungan
sosial.
2.
Bagi Pembaca
Penulisan
ini dibuat untuk membahas pentingnya pendidikan bagi kita dan mengembangkan
pendidikan yg telah di rintis oleh ki hajar dewantara dan apa dampak
globalisasi terhadap dunia pendidikan dan menambah ilmu pengetahuan mengenai
globalisasi.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pemikiran Ki Hadjar Tentang
Pendidikan
Menurut Ki hadjar Dewantara mendidik
dalam arti yang sesungguhnya adalah proses memanusiakan manusia. Di dalam
mendidik ada pembelajaran yang merupakan komunikasi secara manusiawi yang
otentik kepada manusia, untuk dimiliki, dilanjutkan dan disempurnakan. Jadi
sesungguhnya pendidikan adalah usaha bangsa ini membawa manusia Indonesia
keluar dari kebodohan, dengan membuka tabir aktual-transenden dari sifat alami
manusia. Menurut Ki Hadjar Dewantara tujuan pendidikan adalah “penguasaan diri”
sebab di sinilah pendidikan yang membentuk manusia. Penguasaan diri merupakan
langkah yang harus dituju untuk tercapainya pendidikan yang menjadikan manusia
sebenarnya. Ketika setiap peserta didik mampu menguasai dirinya, mereka akan
mampu juga menentukan sikapnya. Dengan demikian akan tumbuh sikap yang mandiri
dan dewasa. Dalam konsep pendidikan Ki Hadjar Dewantara ada 2 hal yang harus
dibedakan yaitu sistem “Pengajaran” dan “Pendidikan” yang harus berhubungan
satu sama lain. Pengajaran bersifat memerdekakan manusia dari aspek hidup
lahiriah. Sedangkan pendidikan lebih memerdekakan manusia dari aspek hidup
batin. Keinginan yang kuat dari Ki Hadjar Dewantara untuk generasi bangsa ini
dan mengingat pentingnya guru yang memiliki kelebihan mental, moral dan
spiritual. Ki Hadjar Dewantar sendiri berfikir untuk kepentingan mendidik,
meneladani dan pendidikan generasi bangsa ini telah mengubah namanya dari
jabatan keningratannya sebagai Raden Mas Soewardi Suryaningrat menjadi Ki
Hadjar Dewantara. Perubahan nama tersebut dapat dimaknai bahwa beliau ingin
menunjukkan perubahan sikap ningratnya menjadi pendidik, yaitu dari satria
pinandita ke pinandita satria (dari pahlawan yang berwatak guru spiritual
ke guru spiritual yang berwatak ksatria), yang mempersiapkan diri dan bersama
peserta didiknya untuk melindungi bangsa dan negara ini.
Bagi Ki Hadjar Dewantara, para
guru-guru hendaknya menjadi pribadi yang bermutu dalam kepribadian dan
spiritual, lalu menyediakan diri untuk menjadi pahlawan dan juga menyiapkan
para peserta didik untuk menjadi pembela nusa dan bangsa. Yang utama sebagai
seorang pendidik adalah fungsinya sebagai contoh keteladanan dan sebagai
motivator di kelas kepada peserta didik. Suasana yang dibutuhkan dalam dunia
pendidikan adalah suasana yang berprinsip pada kekeluargaan, saling
menghormati, saling menghargai dan empati kepada setiap peserta didik. Maka hak
setiap individu hendaknya dihormati; pendidikan hendaknya membantu peserta didik
untuk menjadi kuat secara fisik, mental dan spiritual; pendidikan hendaknya
tidak hanya mengembangkan aspek intelektual sebab akan memisahkan diri dari
suatu lingkungan sosial; pendidikan hendaknya memperkaya berbagai hal pada
setiap individu akan tetapi perbedaan diantara masing-masing pribadi dan
perbedaan latar belakang individu (seperti: ras, suku, agama, jenis kelamin,
dll) juga harus dipertimbangkan dan diperhatikan; pendidikan hendaknya akan
dapat memperkuat rasa percaya diri, dan dapat mengembangkan harga diri tiap
individu; setiap orang harus dapat berlaku hidup secara sederhana dan guru
hendaknya mampu dan mau serta rela mengorbankan kepentingan-kepentingan hidup
pribadinya demi kebahagiaan para peserta didiknya.
Menterjemahkan dari konsep pendidikan
Ki Hadjar Dewantara tersebut, maka banyak pakar menyepakati bahwa pendidikan di
Indonesia haruslah memiliki 3 Landasan filosofis, yaitu nasionalistik,
universalistik dan spiritualistik. Nasionalistik maksudnya adalah budaya
nasional, bangsa yang merdeka dan independen baik secara politis, ekonomis,
maupun spiritual. Universal artinya berdasarkan pada hukum alam yang dapat
dikategorikan sebagai hukum sebab akibat. Spiritualistik artinya segala sesuatu
yang terjadi di muka bumi ini merupakan perwujudan dari kehendak Tuhan. Prinsip
dasar 3 landasan filosofis tersebut adalah kemerdekaan, merdeka dari segala
hambatan cinta, kebahagiaan, keadilan, dan kedamaian tumbuh dalam diri manusia.
Pemikiran Ki Hadjar Dewantara,
tentang metode yang sesuai dengan sistem pendidikan di bangsa kita ini adalah
sistem among yaitu metode pengajaran dan pendidikan yang berdasarkan pada asih,
asah dan asuh. Metode ini secara teknik pengajaran meliputi ‘kepala, hati dan
panca indera’. Metode Asah yaitu
metode pendidikan yang hanya mengembangkan aspek intelektual. sikap hidup
bersama antar sesama umat dan sesama makhluk ciptaan Tuhan di muka bumi, sebab
setiap individu tidak dapat memisahkan diri dari orang di lingkungan
sekitarnya, selain itu pendidikan juga hendaknya memperkaya berbagai hal pada
setiap individu yang mau menerima perbedaan diantara masing-masing pribadi dan
mau menerima perbedaan latar belakang individu (seperti: ras, suku, agama,
jenis kelamin, dll). Metode Asuh yaitu metode guru dalam mendidik
hendaknya mampu dan mau serta rela mengorbankan kepentingan-kepentingan hidup
pribadinya demi kebahagiaan para peserta didiknya.
B. Pengaruh Pemikiran KI HADJAR
DEWANTARA Dalam Pendidikan
Pengaruh pemikiran pertama dalam
pendidikan adalah dasar kemerdekaan bagi setiap orang untuk mengatur dirinya
sendiri. Bila diterapkan kepada pelaksanaan pengajaran maka hal itu merupakan
upaya di dalam mendidik murid-murid supaya dapat berperasaan, berpikiran dan
bekerja merdeka demi pencapaian tujuannya dan perlunya kemajuan sejati untuk
diperoleh dalam perkembangan kodrati, maksudnya bahwa upaya pendidikan
diharapkan dapat mengubah peserta didik untuk menjadi insan yang mandiri yang
tidak ada ketergantungan maupun tergantung pada pihak manapun.
Pendidikan
diartikan sebagai daya upaya untuk memberikan tuntutan pada segala kekuatan
kodrat yang ada pada anak- anak, supaya mereka baik sebagai manusia maupun sebagai
anggota masyarakat mampu mencapai keselamatan dan kebahagiaan hidup lahir dan
batin yang setinggi- tingginya (Aliran- aliran Pendidikan dan Pengajaran Dengan
Tokoh- tokohnya, 1974 : 93) kesempatan anak didik untuk berjalan sendiri.
Inilah yang disebut dengan semboyan “Tut Wuri Handayani”.
A. Pengertian Pendidikan
Pendidikan adalah usaha sadar
terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta
didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan
spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia,
serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara. Dalam pengertian yang sederhana dan umum makna
pendidikan sebagai usaha manusia untuk menumbuhkan dan mengembangkan
potensi-potensi pembawaan baik jasmani maupun rohani sesuai dengan nilai-nilai
dan norma-norma yang ada dalam masyarakat.
Berbicara pendidikan sangat erat
kaitannya dengan kemajuan peradaban manusia. Karena pendidikan merupakan bagian
penting dari kehidupan manusia yang tidak pernah bisa ditinggalkan. Sebagai
sebuah proses, ada dua asumsi yang berbeda mengenai pendidikan dalam kehidupan
manusia. Pertama, ia bisa dianggap sebagai proses yang terjadi secara tidak
disengaja atau berjalan secara alamiah. Dalam hal ini, pendidikan bukanlah
proses yang diorganisasikan dan direncanakan secara sistematis, melainkan
merupakan bagian kehidupan yang memang telah berjalan sejak manusia itu ada.
Kedua, pendidikan bisa dianggap sebagai proses yang terjadi secara di segaja,
direncanakan, dan didesain dengan sistematis berdasarkan aturan-aturan yang berlaku
terutama perundang-undangan yang dibuat atas dasar kesepakatan masyarakat.
Tujuan-tujuan pendidikan misalnya
secara umum orang memahami bahwa tujuan pendidikan adalah mengarahkan manusia
agar memiliki pengetahuan, cerdas, serta memiliki wawasan ketrampilan agar siap
menghadapi tantangan kehidupan dengan potensi-potensinya yang telah diasah
dalam proses pendidikan. Akan tetapi,
proses realitas yang terjadi dan sering kita jumpai adalah proses dan hasil pendidikan
tidak sesuai dengan cita-cita yang indah. Mislanya, kita justru melihat
realitas pendidikan yang terkesan menghasilkan manusia-manusia yang kehilangan
potensi dirinya, manusia yang serakah, merusak dan penindas baru bagi kaum yang
lemah.
B. Pengertian Pembentukan Karakter
Hakekat karakater ialah Menurut
Simon Philips, karakter adalah kumpulan tata nilai yang menuju pada suatu
sistem, yang melandasi pemikiran, sikap, dan perilaku yang ditampilkan.
Sedangkan Doni Koesoema, memahami bahwa karakter sama dengan kepribadian.
Kepribadian dianggap sebagai ciri, atau karakteristik, atau gaya, atau sifat
khas dari diri seseorang yang bersumber dari bentukan-bentukan yang diterima
dari lingkungan. Sementara Winnie, memahami bahwa istilah karakter memiliki dua
pengertian. Pertama, ia menunjukkan bagaimana seseorang bertingkah laku.
Apabila seseorang berperilaku tidak jujur, kejam, atau rakus, tentulah orang
tersebut memanifestasikan perilaku buruk. Sebaliknya, apabila seseorang
berperilaku jujur, suka menolong, tentulah orang tersebut memanifestasikan karakter
mulia. Kedua, istilah karakter erat kaitannya dengan “personality”.
Seseorang baru bisa disebut orang yang berkarakter (a person of character)
apabila tingkah lakunya sesuai kaidah moral.
Dalam hal ini akar dari semua tindakan yang jahat dan buruk,
tindakan kejahatan, terletak pada hilangnya karakter. Karakter yang kuat adalah
sandangan fundamental yang memberikan kemampuan kepada populasi manusia untuk
hidup bersama dalam kedamaian serta membentuk dunia yang dipenuhi dengan
kebaikan dan kebajikan, yang bebas dari kekerasan dan tindakan-tindakan tidak
bermoral.
Karakter tidak diwariskan, tetapi sesuatu yang dibangun
secara berkesinambungan hari demi hari melalui pikiran dan perbuatan, pikiran
demi pikiran, tindakan demi tindakan. Karakter dimaknai sebagai cara berpikir
dan berperilaku yang khas tiap individu untuk hidup dan bekerja sama, baik
dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa, dan Negara.
Untuk memahami makna pembangunan karakter dan mengapa hal
itu penting, ada suatu kisah yang menarik yang akan penulis sampaikan. Suatu
ketika, ada seorang pendidik yang mengusulkan kepada seorang kepala sekolah
agar dalam penerimaan peserta didik baru tidak menggunakan tes ujian masuk
dalam model apapun. Reaksi sang kepala sekolah menjadi tekaget-kaget luar biasa.
“Kalau penerimaan peserta didik baru tidak melalui tes terdahulu, pasti sekolah
ini nanti akan banyak diisi oleh peserta didik yang bodoh-bodoh dan
nakal-nakal. Terus bagaimana kualitas lulusan kita nanti”. Demikian alasan sang
kepala sekolah.
Kemudian, ia menjelaskan alasannya kepada kepala sekolah
tersebut. Alasannya begini: para peserta didik baru itu pada dasarnya tidak ada
yang bodoh, tidak ada yang nakal, tidak ada yang kekurangan sifatnya. Dengan
demikian, setelah para peserta didik baru yang masuk tanpa tes itu diterima,
mereka kemudian akan menjalani penelitian kecerdasan yang dimiliki
masing-masing. Hal ini dalam istilah ilmi psikologi pendidikan disebut Multi
Intelegences Research (MIR). Tindakan tersebut digunakan untuk mengetahui
gaya belajar peserta didik, sebuah data yang sangat penting yang harus
diketahui oleh para guru yang akan mengajar mereka.
Menurut penulis, cerita pendidik tersebut memang ada
benarnya juga. Pendidikan adalah proses pembangunan karakter. Jadi, sudah
seharusnya tak menjadi sebuah masalah bagi siapa pun yang akan masuk di
dalamnya (sekolah). Pembangunan karakter adalah prose membentuk karakter, dari
yang kurang baik menjadi yang lebih baik. Senada
dengan kata-kata filosof kaliber Plato (428-347 SM), beliau mengatakan “Jika
Anda bertanya apa manfaat pendidikan, maka jawabannya sederhana: Pendidikan
membuat orang menjadi lebih baik dan orang baik tentu berperilaku baik”.
C. Hubungan Antara Pendidikan dan
Pembentukan Karakter
“Manusia hanya dapat menjadi sungguh-sungguh manusia melalui
pendidikan dan pembentukan diri (character) yang berkelanjutan. Manusia hanya
dapat dididik oleh manusia lain yang juga dididik oleh manusia yang lain”, begitu kata Immanuel Kant. Artinya
bahwa, pendidikan dan pembentukan karakter sejak awal munculnya pendidikan oleh
para ahli dianggap sebagai hal yang niscaya dan saling berhubungan.
John Dewey, misalnya, pada tahun 1961, pernah berkata juga.
“Sudah merupakan hal lumrah dalam teori pendidikan bahwa pembentukan watak atau
karakter merupakan tujuan umum pengajaran dan pendidikan budi pekerti di
sekolah. Pendidikan karakter pada
hakikatnya ingin membentuk individu menjadi seorang pribadi bermoral yang dapat
menghayati kebebasan dan tanggung jawabnya, dalam relasinya dengan orang lain
dan dunianya di dalam komunitas pendidikan. Komunitas pendidikan ini bisa
memiliki cakupan lokal, nasional, maupun internasional (antar negara).
Sejalan dengan implementasi pendidikan karakter, UNESCO
dalam empat pilar pendidikan secara implisit sebenarnya juga menyinggung
perlunya pendidikan karakter. Seperti kita ketahui ada empat pilar pendidikan
yang diharapkan ditegakkan dalam implementasi pendidikan diseluruh dunia, yang
meliputi; learning to know, learning to do, learning to be, dan learning
to live together. Dua pilar terakhir learning to be, dan learning
to live together pada hakekatnya adalah implementasi dari pendidikan
karakter.
Dengan demikian, pendidikan karakter mempunyai visi
senantiasa mengarahkan diri pada pembentukan individu bermoral, cakap mengambil
keputusan yang tampil dalam perilakunya, sekaligus mampu berperan aktif dalam
membangun kehidupan bersama. Pendidikan karakter dimulai dari lingkungan
keluarga karena lingkungan inilah yang pertama kali dikenal oleh seseorang
sejak ia lahir. Lingkungan keluarga sangat berpengaruh karena merupakan dasar
dari pembentukan karakter seseorang. Selanjutnya lingkungan tempat tinggal,
lingkungan pergaulan dan sampai pada lingkungan pendidikan (sekolah).
a. Posisi Pendidikan Karakter
dalam Pendidikan Nasional
Dalam kebijakan nasional ditegaskan,
antara lain bahwa pembangunan karakter bangsa merupakan kebutuhan asasi dalam
proses berbangsa dan bernegara. Sejak awal kemerdekaan, bangsa Indonesia sudah
bertekad untuk menjadikan pembangunan karakter bangsa sebagai bahan penting dan
tidak dipisahkan dari pembangunan nasional.
Secara ekplisit pendidikan karakter (watak) adalah amanat
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang pada
pasal 3 menegaskan bahwa “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan
dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta
didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”
Potensi peserta didik yang akan dikembangkan seperti beriman
dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis
serta bertanggung jawab pada hakikatnya dekat dengan makna karakter. Senada
dengan sembilan pilar pendidikan karakter yang telah dilansir oleh Kementrian Pendidikan
Nasional antara lain. (1). Cinta Tuhan dan segenap ciptaan-Nya, (2).
Kemandirian dan Tanggung jawab, (3). Kejujuran dan Diplomatis, (4). Hormat dan
Santun, (5). Dermawan, Suka tolong menolong, dan Gotong royong, (6). Percaya
diri dan Kerja keras, (7). Kepemimpinan dan Keadilan, (8). Baik dan Rendah
hati, dan (9). Toleransi, Perdamaian, dan Kesatuan.
Disamping itu pelaksanaanya juga harus tetap memperhatikan
K4 (kesehatan, kebersihan, kerapian, dan keamanan). Dengan demikian
pengembangan potensi tersebut juga harus menjadi landasan implementasi
pendidikan karakter di Indonesia.
b. Implementasi Pendidikan
Karakter di Indonesia
Sebelum pada implementasi di
Indonesia, sebaiknya kita mengetahui hasil Sarasehan Nasional Pendidikan Budaya
dan Karakter Bangsa. Hal ini yang selanjutnya menghasilkan sebuah Kesepakatan
Nasional Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa yang dinyatakan
sebgai berikut:
a). Pendidikan budaya dan karakter bangsa merupakan bagian
integral yang tidak terpisahkan dari pendidikan nasional secara utuh.
b). Pendidikan budaya dan karakter bangsa harus dikembangkan
secara komperhensif sebagai proses pembudayaan. Oleh karena itu, pendidikan dan
kebudayaan secara kelembagaan perlu diwadahi secara utuh.
c). Pendidikan budaya dan karakter bangsa merupakan tanggung
jawab bersama antara pemerintah, masyarakat, sekolah, dan orang tua. Oleh
karena itu, pelaksanaan pendidikan budaya dan karakter bangsa harus melibatkan
keempat unsur tersebut.
d). Dalam upaya merevitalisasi pendidikan budaya dan
karakter bangsa diperlukan gerakan nasional guna menggugah semangat kebersamaan
dalam pelaksanaan di lapangan.
Kemudian bagaimana implementasi pendidikan karakter di
Indonesia. Menurut Kementrian Pendidikan Nasional, pendidikan karakter harus
meliputi dan berlangsung pada.
1). Pendidikan Formal
Pendidikan karakter pada pendidikan formal berlangsung pada
lembaga pendidikan TK/RA, SD/MI, SMP/MTS, SMA/MAK dan Perguruan Tinggi melalui
pembelajaran, kegiatan kokurikuler dan atau ekstra-kurikuler, penciptaan budaya
satuan pendidikan, dan pembiasaan. Sasaran pendidikan formal ialah peserta
didik, pendidik dan tenaga kependidikan.
2). Pendidikan Nonformal
Dalam pendidikan nonformal pendidikan karakter berlangsung
pada lembaga kursus, pendidikan kesetaraan, pendidikan keaksaraan, dan lembaga
pendidikan nonformal lain melalui pembelajaran, kegiatan kokurikuler dan atau
ekstra-kurikuler, penciptaan budaya lembaga, dan pembiasaan.
3). Pendidikan Informal
Dalam pendidikan informal pendidikan karakter berlangsung dalam
keluarga yang dilakukan oleh orang tua dan orang dewasa di dalam keluarga
terhadap anak-anak yang menjadi tanggung jawabnya.
c. Strategi dan
Metodelogi Pendidikan Karakter
Strategi disini dapat dimaknai dalam
kaitannya dengan kurikulum, strategi dalam kaitannya dengan model tokoh, serta
strategi dalam kaitannya dengan metodologi. Dalam kaitannya dengan kurikulum,
startegi yang umum dilaksanakan adalah mengintergrasikan pendidikan karakter
dalam bahan ajar. Artinya, tidak membuat
kurikulum pendidikan karakter tersendiri. Strategi yang kaitannya dengan model
tokoh yang sering dilakukan dunia pendidikan di negara-ngara Barat adalah bahwa
seluruh tenaga pendidik dan tenaga kependidikan di sekolah harus mampu menjadi
model teladan yang baik (uswah hasanah).
Dalam kaitannya dengan metodologi, strategi yang umum
diimplementasikan pada pelaksanaan pendidikan karakter di negara-negara Barat
antara lain adalah strategi pemanduan, pujian dan hadiah, definisikan dan
latihan, penegakan disiplin, dan juga perangai bulan ini. Dan strategi lain
yang harus dipraktekan oleh guru pada umumnya ialah keaktifan guru bimbingan
dan konseling sebagai pendidik karakter.
Strategi pengembangan karakter yang diterapkan di Indonesia
yang dirancang oleh Kementrian Pendidikan Nasional (2010), antara lain. Melalui
transformasi budaya sekolah dan habituasi melalui kegiatan ekstrakurikuler.
Menurut para ahli bahwa implementasi strategi pendidikan karakter melalui
transformasi budaya dan perikehidupan sekolah, dirasakan efektif dari pada
harus mengubah dengan menambahkan materi pendidiakan karakter kedalam muatan
kurikulum.
Pusat Kurikulum Kementrian Pendidikan Nasional (2011) dalam
kaitan pengembangan budaya sekolah yang dilaksanakan dalam kaitan pengembangan
diri, menyarankan empat hal yang meliputi:
1). Kegiatan Rutin
Merupakan kegiatan yang dilaksanakan oleh peserta didik
secara terus menerus dan konsisten setiap saat. Misalnya, uapcara bendera
setiap hari senin dan lainnya yang bersifat kontinyu.
2). Kegiatan Spontan
Merupakan kegiatan yang bersifat spontan, saat itu juga,
pada waktu terjadi keadaan tertentu. Misalnya, mengumpulkan sumbangan bagi
korban bencana alam dan lain-lain.
3). Keteladanan
Timbulnya sikap dan perilaku peserta didik karena meniru
perilaku atau sikap orang lain seperti dalam lingkungan sekolah adalah guru dan
tenaga kependidikan serta seluruh warga dewasa sekolah yang lainnya yang berada
pada sekitanya. Sehingga sudah menjadi keharusan bagi guru, tenaga
kependidikan, dan orang dewasa memberi telada sikap dan perilaku yang baik.
4). Pengondisian
Merupakan usaha menciptakan kondisi yang kondusif untuk
terlaksananya proses pendidikan karakter. Misalnya, kondisi meja guru dan
kepala sekolah yang ditata rapi, dan kondisi toilet bersih dan tidak bau.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Pendidikan adalah usaha sadar
terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta
didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan
spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia,
serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Sehingga pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk
watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar
menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak
mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab yang pada hakikatnya sangat dekat dengan
perannya untuk membentuk manusia yang berkarakter baik.
Dengan demikian, pendidikan karakter
mempunyai visi senantiasa mengarahkan diri pada pembentukan individu bermoral,
cakap mengambil keputusan yang tampil dalam perilakunya, sekaligus mampu
berperan aktif dalam membangun kehidupan bersama dalam tantangan global.
Kemudian menurut Kementrian Pendidikan Nasional, pendidikan karakter harus
meliputi dan berlangsung pada.
1). Pendidikan Formal (pemerintah)
2). Pendidikan Nonformal (masyarakat)
3). Pendidikan Informal (keluarga)
Yang dari ketiga lembaga pendidikan di atas dalam
implementasinya harus saling berkerja sama dan melengkapi dengan baik, hal
demikian dilakukan agar terbentuknya sebuah kondisi dan suasana yang kondusif
serta nyaman dalam proses pendidikan dan pembentukan karakter bagi setiap
manusia.
B.
Daftar
Pustaka
Soeratman Darsiti : Ki Hadjar Dewantara, Balai Pustaka, Jakarta, 1985.
Sagimun : Ki
Hajar Dewantara, Bhratara, Jakarta, 1964.
Sayoga : Riwayat
Perjuangan Taman Siswa 30 Tahun (1922 - 1952), ML Taman Siswa Yogyakarta,
1952.